Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Teriring salam dan do’a,
semoga Bapak/Ibu selalu dalam keadaan sehat, diberi kelancaran dalam
menjalani rutinitas sehari-hari, serta selalu mendapat perlindungan dari
Allah SWT. Aamiin.
Untukmu yang aku sebut Pahlawan,
Sejenak diri ini tertegun
saat melihat sebulir nasi putih yang tercecer di atas meja makan.
Kupandangi dengan seksama, kuperhatikan dan kuresapi apa yang mampu
membuat diriku ini tertegun dibuatnya. Dari sebulir nasi yang tersisa di
meja makan ini, baru aku menyadari bahwa
aku telah melakukan suatu kesalahan besar terhadapmu, sebulir nasi putih
di meja ini telah menyadarkanku bahwa ternyata aku telah menyia-nyiakan
segala perjuangamu. Betapa hinanya diri ini karena tak mampu menghargai
segala jerih payah perjuanganmu. Oleh karenanya, sudilah kiranya engkau
memaafkan diriku ini duhai Pahlawanku.
Duhai Pahlawanku,
Seharusnya aku mampu untuk
bisa lebih jeli lagi melihat perjuanganmu. Engkau telah berjuang sejak
negeri ini masih dalam masa penjajahan, bahkan hingga kini saat bangsa
telah merdeka, tiada hentinya engkau terus berjuang untuk mencukupi
segala kebutuhan penduduk negeri ini. Ucapan terimakasihpun rasanya tak
akan mampu membalas atas semua jasa-jasamu.
Aaah
Pahlawanku, seharusnya engkau menjadi salah satu “Pahlawan” yang
sesungguhnya di Negeri ini. Berdiri sejajar dengan Pak Jenderal yang
gigih dalam bergerilya ataupun dengan pahlawan-pahlawan lainnya yang
telah merelakan jiwa raganya untuk kemerdekaan negeri ini.
Sungguh Pak/Bu, perjuanganmu
saat ini justru semakin berat. Engkau berjuang bahkan bukan hanya untuk
diri sendiri, tapi juga untuk seluruh penduduk Negeri ini. Mungkin
kebanyakan dari engkau, tak tahu kalau Negeri kita ini dijuluki sebagai
Negara Agraria. Bahkan apa arti agraria pun engkau tak tahu. Iya, memang
engkau tak perlu tahu apa itu arti agraria. Bagimu yang penting adalah
terus berjuang untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk
negeri ini.
Justru,
kamilah yang tahu dan bangga akan sebuah kata “Agraria” yang melekat
pada bangsa kita ini, namun kami pula yang telah merusak dan perlahan
menghancurkannya. Sebuah Negara Agraria, sebuah negara yang bertumpu
pada sektor pertanian, seharusnya mampu membuat kaum tani menjadi lebih
makmur kehidupannya. Kaum tani seharusnya mendapat perhatian yang lebih
bagus lagi. Namun apa yang terjadi sekarang Pak/Bu? Sudah makmurkah
kehidupan para petani-petani kita?
Jangankan untuk mencukupi
kebutuhan penduduk Negeri ini, sekarang untuk mencukupi kebutuhan
keluarga saja, rasanya begitu sulit. Perjuanganmu sekarang memang lebih
berat dan penuh liku-liku. Jerit hatimu tak mampu didengar oleh penguasa
negeri ini. Ketika engkau berjuang demi mencukupi kebutuhan penduduk
negeri ini, dihadang oleh bermacam rintangan cuaca dan hama yang tiada
menentu serta menghadapi para tengkulak yang merajalela, para penguasa
di atas sana yang bangga dengan predikat agraria di negeri ini justru
menambah permasalahan dengan memutuskan kebijakan-kebijakan yang malah
tidak berpihak untuk kaum tani. Mau dibawa kemanakah negeri ini oleh
mereka? Apakah mau dijadikan negeri yang konsumtif? Aah, percuma saja
negeri ini menjadi sebuah negeri agraria kalau hanya sebagai negeri yang
konsumtif.
Tahukah engkau Pak Tani dan
Ibu Tani, kebijakan dengan mengimpor kebutuhan pangan itupun ternyata
tak hanya merugikan engkau, namun juga kami semua penduduk negeri ini.
Karena bila kami harus memakan beras impor itupun harus dibeli dengan
harga yang lebih mahal. Sungguh ini merugikan kita semua sebagai
penduduk negeri tercinta ini.
Satu hal yang aku takutkan
sekarang adalah, apabila hal tersebut membuat semangat Bapak/Ibu tani
memudar. Aku takut bila Bapak/Ibu Tani jenuh dan bosan dengan keadaan
ini, sehingga dengan terpaksa merelakan lahan-lahan pertaniannya dijual
kepada para pemborong untuk kemudian mereka dirikan perumahan, pusat
perbelanjaan, pabrik-pabrik ataupun gedung-gedung lainnya. Aku tak bisa
membayangkan bila itu terjadi Pak/Bu. Bumi ini akan menjadi seperti apa?
Karena sekarang pun bumi ini sudah sangat panas. Apalagi bila ditambah
dengan bangunan-bangunan yang mereka dirikan dari lahan pertanian yang
Bapak/Ibu jual kepada mereka. Bumi ini akan makin membara Pak/Bu, tiada
lagi kesejukan dalam hidup ini nantinya.
Jadi, aku mohon kepada
Bapak/Ibu Tani, untuk tetap bersemangat. Aku yakin Bapak/Ibu tak akan
mudah berputus asa. Aku mau bumi ini tetap hijau dengan aneka jenis
tanaman yang Bapak/Ibu olah. Terus hamparkan ladang nan menghijau di
bumi ini hingga anak cucu nanti pun masih bisa merasakannya. Tak usah
engkau risaukan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tentang
pertanian, karena mereka tidak tahu cara-cara bertani yang baik seperti
yang bapak/Ibu kerjakan. Bapak/Ibu justru lebih tahu tentang cara
bertani yang baik, jadi mari kita sama-sama buktikan kepada mereka,
bahwa kita mampu untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.
Kebijakan pemerintah itu kita lawan dengan bukti nyata di ladang, bahwa
kita masih mampu mencukupi kebutuhan pangan sendiri.
Bapak/Ibu Tani Pahlawanku,
Tetaplah semangat menjadi
seorang petani, tetaplah bangga menjadi seorang petani. Kalaupun
sekarang yang terjadi masih jauh dari harapan, bersabarlah Pak/Bu. Kita
sama-sama berdo’a dan terus berusaha, karena itu adalah satu-satunya
jalan terbaik untuk menyelesaikan segala permasalahan. Serahkan
segalanya kepada Tuhan yang Maha Esa. Aku yakin suatu saat nanti bila
waktunya Tuhan pasti akan mengangkat derajatmu, memuliakanmu di dunia
ini, bahkan di akherat kelak.
Tetap semangat Pak/Bu,
kembalikan kejayaan para petani negeri ini, ajarkan anak cucu dan
generasi muda untuk bisa menjadi petani yang handal pula di masa yang
akan datang. Percayalah, aku masih bangga memakan bulir-bulir nasi yang
engkau hasilkan. Aku masih bangga merebus daun singkong yang dihasilkan
dari kebunmu, dan aku akan terus bangga membuat sup dari wortel yang
dihasilkan oleh tetesan keringatmu.
Bapak/Ibu Tani Pahlawanku,
Meskipun aku hanya bisa
berkata-kata, namun aku yakin, engkau akan mampu membawa kejayaan
kembali Negeri ini. Engkau akan kembalikan lagi kedigdayaan Negeri
Agraria ini. Angkat cangkulmu tinggi-tinggi, dan hujamkan dalam-dalam ke
lahan pertanianmu. Jadikan butiran-butiran putih berasmu sebagai
kilauan permata di negeri ini.
Demikian yang bisa aku
sampaikan kepada Bapak/Ibu Tani, semoga akan segera datang secercah
harapan terang yang lebih baik di masa yang akan datang. Jayalah
Pertanian Indonesia. Aamiin.
Salam,
Dari Aku, pecinta hasil tanimu
0 komentar:
Post a Comment