Ironi di negeri agraris, mungkin inilah yang sedang dialami oleh kita, dimana negara Indonesia yang (dulu) dikenal sebagai negara agraris, tapi kenyataannya sekarang untuk memenuhi kebutuhan pangan saja harus mendatangkan dari luar negeri.
Negara yang katanya agraris, mengandalkan
sektor pertaniannya, tapi sekarang justru sektor pertanian seperti
kurang mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah. Negara kita ini
tanahnya subur, tapi kenapa hasil pertanian yang diperoleh
masih belum mencukupi kebutuhan warganya. Seakan sekarang sudah jarang
terlihat desa-desa yang dulu terlihat dengan warna hijau karena berbagai
macam tanaman yang tumbuh di dalamnya. Seandainya negara ini adalah
negara agraris, seharusnya petani-petani kita bisa hidup makmur.
Seandainya negara kita ini negara agraris, seharusnya tak perlu lagi
mendatangkan hasil-hasil pertanian dari luar negeri untuk mencukupi
kebutuhan pangan dalam negeri.
Dimana sebenarnya petani-petani handal
yang dulu pernah kita miliki? Kenapa mereka sudah tidak bisa lagi
menghasilkan kebutuhan pangan yang cukup untuk penduduk negeri ini? Apa
mereka para petani sudah jenuh dengan apa yang mereka kerjakan? Mungkin
saja. Apa mungkin karena hasil yang mereka peroleh tak sebanding dengan
kerja kerasnya? Bisa jadi. Apa karena kurang perhatiannya pemerintah
terhadap nasib para petani sehingga kurang tepat dalam mengambil suatu
kebijakan? Kita mungkin hanya bertanya, bertanya dan bertanya.
Di negeri agraris ini, seharusnya para
petani hidupnya bisa makmur. Tapi pada kenyataannya jauh dari apa yang
mereka harapkan. Lahan pertanian mulai berkurang karena adanya
pembangunan-pembangunan, hasil yang didapat tidak sebanding dengan biaya
produksi yang selalu mengalami kenaikan.
Tak heran jika sekarang banyak para
petani yang enggan menurunkan “ilmu tani”-nya kepada anak-anak mereka.
Karena para petani menganggap, sekarang hidup jadi petani itu susah.
Tidak bisa makmur menurutnya. Mereka para petani lebih mewanti-wanti
kepada anak-anaknya, agar bisa sekolah setinggi-tingginya agar bisa
bekerja di kantoran. Bahkan rela menjual lahan pertaniannya untuk
membiayai anaknya sekolah. Dan setelah anaknya lulus kuliah, ternyata
mendapat pekerjaan yang harus meninggalkan kampung halaman. Sudah
pastikan, tidak ada yang meneruskan jadi petani.
Atau, meskipun anaknya belajar di
perguruan tinggi mengambil jurusan pertanian, setelah lulus juga mereka
tidak kembali ke kampung halamannya untuk mempraktekkan ilmu pertanian
yang mereka dapat selama di bangku kuliah. Mereka justru malah ikut
menambah daftar panjang pengantri pelamar pekerjaan yang ingin menjadi
PNS.
Seharusnya para sarjana pertanian
berusaha menciptakan sebuah eksperimen untuk memajukan pertanian,
misalnya dengan terus berusaha menciptakan benih padi yang bisa dipanen
lebih cepat dari padi pada umumnya yang membutuhkan waktu kurang lebih 4
bulan. Itu hanya misalnya saja.
Sebenarnya masalah ini adalah masalah
kita semua. Tidak hanya tertuju menyalahkan pemerintah yang dianggap
kurang memperhatikan nasib para petani. Kita benahi kembali sistem
pertanian yang ada. Yang muda jangan merasa takut untuk menjadi petani,
buang jauh-jauh rasa gengsi bila menjadi seorang petani. Sudah saatnya
pertanian di negeri ini memiliki petani-petani yang kuat dan juga
cerdas.
Maju terus pertanian Indonesia, jadikan negeri ini kembali menjadi negeri agraria yang sebenarnya. Petani hebat, petani cerdas, negara maju, rakyatnya makmur. Angkat cangkulmu kawan.. :D :D
0 komentar:
Post a Comment